Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan
menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal.
Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah
yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya
justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan
penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)
Manajemen cinta
mendidik sikap selektif dalam menambatkan dan melabuhkan cinta serta
memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan dirinya. Nabi berpesan:
“Seseorang akan mengikuti pola hidup orang dekatnya maka hendaklah
kalian mencermati siapa yang ia pergauli.” (HR. Ahmad, At-Turmudzzi dan
Baihaqi).
Sabdanya pula: “Janganlah engkau berakraban kecuali
kepada seorang mukmin dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang
yang taqwa.” (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud).
Di antara
konsekuensi sikap selektif dalam cinta ini adalah sikap arif dalam
memilih pasangan hidup. Nabi saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi
karena empat hal; hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan
agamanya, maka pilihlah yang kuat agamanya niscaya kamu diberkati” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Sabdanya yang lain: “Jika seseorang yang
engkau puas dengan kondisi agama dan akhlaqnya melamar kepadamu maka
nikahkanlah ia. Sebab jika tidak kau lakukan maka akan timbul fitnah di
muka bumi dan kerusakan yang dahsyat.” (HR. At-Turmudzi)
Demikian
pula larangan tegas al-Qur’an untuk mengambil pasangan hidup dari yang
berlainan aqidah karena ikatan Allah adalah yang paling kuat sementara
lainnya adalah rapuh. (QS. Al-Baqarah: 32)
Tatkala pilihan cinta
kita sudah tepat maka masih diperlukan pemeliharaan secara proporsional,
karena cinta adalah buah iman dan iman seseorang selalu mengalami
fluktuasi dan dinamika seiring dengan baik buruknya perlakuan dan sikap
hidup. Kalau cinta diibaratkan tanaman maka ia memerlukan siraman,
pemupukan, perawatan dan penjagaan secara kontinyu. Cinta yang sudah
tepat labuhnya sekalipun (sefikrah dan sekufu misalnya) dapat redup
ataupun mati bila tidak dipelihara. Dalam pengalaman keseharian
seseorang sering mengalami problem cinta dengan pasangan hidupnya dari
merasa tidak dicintai lagi, sudah hambar atau merasa sudah memberikan
segalanya namun tidak ada timbal balik cinta yang pantas dan sebagainya.
John
Gray, PhD dalam “Men, Women and Relationships” memberikan resep manjur
agar pasangan merasa dicintai adalah dengan cara berfikir berlawanan
pola dengan apa yang paling ia inginkan sendiri. Artinya harus berani
mengenyampingkan perspektif dan keinginan serta ego diri sendiri namun
sebaliknya mengedepankan apa yang diinginkan pasangan menurut
perspektifnya yang tentunya dalam Islam tanpa melanggar kaidah syariat.
Sementara
menurut prinsip membangun rekening emosinya Stephen R. Covey dalam “The
7 Habits of Highly Effective Families” Cinta diibaratkan rekening bank
emosi yang tentunya memerlukan saldo minimum agar tidak ditutup yang
berarti permusuhan, perceraian, perpisahan dan perpecahan. Dengan
demikian manajemen cinta dalam hal ini mengajarkan prinsip melakukan
penyetoran lebih didahulukan daripada penarikan dan tidak peduli apapun
situasinya, karena selalu ada hal-hal yang dapat kita lakukan yang akan
membuat hubungan cinta menjadi lebih baik. Bukankah Nabi saw juga
berpesan: “Janganlah engkau remehkan suatu kebaikan pun meskipun hanya
memberikan senyuman kepada saudaramu.” Sikap mengesalkan dan menyebalkan
bagi orang-orang sekeliling kita janganlah dipelihara dan dibiasakan
sebab itu berarti penarikan beruntun rekening emosi yang dengan semakin
menipisnya emosi simpati sebagai salah satu modal saling mencintai akan
berakibat fatal. Namun sayang hal ini justru sering diremehkan.
Sebaliknya
kita perlu banyak dan sesering mungkin menaburkan rabuk tanaman cinta
dan mengisi bank emosi cinta di antaranya dengan beberapa hal-hal
positif berikut sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauzziyah dalam “Raudhah Al-Muhibbin” sebagai bukti cinta kepada
siapa pun yang kita cintai:
1. Sesering mungkin kontak mata yang penuh keteduhan dan kedamaian sebagai magnet cinta antar orang-orang yang kita kasihi.
2. Melakukan seni mengingat kekasih, menghargai dan menyebutnya sesuai kesukaannya secara baik.
3. Mengikuti keinginan orang yang kita kasihi tanpa melanggar kaidah syariat
4. Bersabar menghadapi sikap dan perlakuan orang yang dicintai.
5. Menunjukkan perhatian dan bersedia menyimak curahan hati kekasih.
6. Berusaha mencintai dan menyenangi apapun yang dicintai dan disenangi kekasih
7. Merasakan ringan resiko perjalanan menuju dan bersama kekasih tanpa keluh kesah
8. memberikan kepedulian dan kecemburuan yang wajar dan proporsional kepada kekasih
9. Rela berkorban demi kekasih dan menjadikan pengorbanannya sebagai pemikat hati
10. Membenci dan memusuhi apa yang tidak disukai kekasih sebagai bentuk konsekuensi wala’ dan bara’ dalam cinta.
Skala
prioritas cinta adalah hal yang niscaya dan semestinya
diimplementasikan dalam manajemen cinta agar tidak bertabrakan dan
memberantakkan hubungan, karena dalam hidup banyak hal yang harus dan
secara fitrah kita cintai (QS. Ali Imran: 14). Hal itu tentunya akan
berjalan baik dengan saling memberikan pengertian secara bersama dan
arif bijaksana sehingga tidak terjadi salah paham dan kecemburuan yang
tidak pada tempatnya. Sebagai ilustrasi ada baiknya kita sebutkan model
prioritas cinta yang pertama adalah cinta Allah dan Rasul-Nya yang
berarti cinta Islam, aqidah, syariat dan jihad fi sabilillah di atas
segala-galanya. Kemudian cinta kepada orang tua bagi anak lelaki dan
bagi wanita yang belum menikah adapun wanita yang sudah menikah kepada
suami baru kepada orang tua. Lalu kepada istri dan anak bagi lelaki dan
seterusnya yang lebih bersifat materi, fasilitas fisik dan civil efek
serta pengakuan ataupun aktualisasi diri dalam konteks hubungan sosial.
Dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa Allah memberikan rahmat dengan
membukakan pintu goa yang tertutup bagi seorang suami yang biasa
menyimpan susu untuk diminumkan kepada orang tuanya sebelum anak dan
istrinya dan rela menahan diri dan keluarganya untuk meminumnya sebelum
orang tuanya. Sebaliknya Allah mengampuni dosa orang tua yang meninggal
dunia karena ketaatan istri kepada suami untuk tidak keluar rumah selama
kepergiannya tanpa seizinnya sampai akhirnya orang tuanya meninggal
dunia dan ia tidak sempat menjenguk. Dengan keikhlasan masing-masing
pihak untuk menerima jatah cinta dan kasih sayang untuknya sebagaimana
mestinya yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan akan membawa keberkatan cinta
itu sendiri.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam manajemen
cinta yang terkait dengan skala prioritas perhatian adalah situasi,
kondisi dan peran yang diamanahkan Allah dalam hidupnya dapat menjadi
pertimbangan sendiri. Sebagai contoh seseorang yang seharusnya pergi
berjihad namun memiliki orang tua yang tidak ada yang merawatnya kecuali
dirinya atau seorang ibu yang harus merawat anaknya dan tidak ada orang
lain yang menggantikannya maka Rasulullah saw justru mewajibkan padanya
untuk merawat keluarganya dan melarangnya untuk ikut berjihad. Namun
sebaliknya jika potensi dan perannya dibutuhkan dalam dakwah dan jihad
sementara ada elemen pendukung lain yang menggantikan peran cintanya
untuk selain jihad dan ia enggan memberikan bukti cintanya kepada Allah
dan rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka Allah mengancamnya dengan
kemurkaan-Nya. (QS. At-Taubah: 9).
Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar