Fenomena keterhanyutan dan kelarutan generasi muda
ke dalam jebakan kampanye cinta palsu yang menyesatkan dalam bungkus
life’s style bergaya Valentine’s Day beberapa tahun belakangan ini lebih
merefleksikan gejala umum degub jiwa kepenasaranan, kehausan dan
sekaligus kebingungan akan makna cinta dari kalangan generasi muda di
samping ekspresi dari absurditas dan ketidakarifan memahami makna cinta
dari kalangan industri momentum kasih sayang dan cinta.
Budaya
ber-valentine’s-ria di kalangan remaja memang fenomenanya telah menjadi
gejala yang memprihatinkan seperti pengalaman saya pada suatu kali di
pusat perbelanjaan bersama istri berbelanja tiba-tiba terhenyak dengan
ucapan spontan mereka ketika bertemu sesamanya dengan ucapan ‘happy
valentine’. Kaget karena menjadi tradisi yang tidak pantas dalam tradisi
ketimuran apalagi keislaman.
Cinta sebagaimana fitrahnya
merupakan anugerah dan cinta juga musibah. Cinta menjadi kenikmatan bila
karena Allah dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta islami
demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampaui batas
fisik materi. Cinta yang fitri kata orang bijak adalah buah yang tak
mengenal musim dan dapat dipetik oleh siapa pun. Cinta yang demikian tak
jadi masalah kepada siapa dan seberapa besar asalkan karena Allah dan
dijalan-Nya. Inilah rumus cinta suci segitiga dalam Islam; cinta
proporsional (equilibrium love) antara cinta kepada Allah yang tidak
menelantarkan cinta kepada makhluk, dan cinta kepada makhluk yang tidak
melalaikan bahkan senantiasa dalam cinta kepada Allah Sang Khalik.
Perasaan
cinta pada dasarnya sebuah kenikmatan. Betapa indahnya hidup yang
dipenuhi cinta sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi
kebencian. Orang yang dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan
selalu merasa bahagia sebelum orang lain bahagia sehingga mendorongnya
untuk memiliki sikap tenang, damai, puas dan ridha. Bahkan cinta
merupakan energi dahsyat kehidupan yang mengilhami Lao Tzu, filsuf Cina
yang hidup sekitar abad ke-6 SM untuk merangkai kata mutiara bahwa
dicintai secara mendalam oleh seseorang akan memberimu kekuatan, dan
mencintai seseorang secara mendalam akan memberimu keberanian. Demikian
Plato filsuf Yunani kuno juga berkesimpulan bahwa cinta adalah sumber
keindahan sehingga dengan sentuhan cinta setiap orang dapat menjadi
pujangga.
Perasaan cinta yang dialami setiap jiwa manusia memang
sebuah misteri sebagaimana fenomena ruh (jiwa). Nabi saw. bersabda: “Ruh
itu laksana pasukan yang dikerahkan, maka seberapa jauh mereka saling
mengenal maka sejauh itu pula mereka saling menyatu, dan seberapa jauh
mereka tidak saling mengenal maka sejauh itu pula mereka akan
berselisih.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). Menyatunya jiwa sesama
mukmin dalam cinta begitu kuat dan tetap hidup seperti satu tubuh
sebagaimana diumpamakan Nabi saw. dalam hadits riwayat Imam Muslim.
Begitu kuatnya pengaruh cinta sehingga kadang dapat menghilangkan
kontrol emosi dan keseimbangan rasio sehingga tidak mampu bersikap
objektif.
Mabuk asmara sebagaimana dikatakan filosof Plato
merupakan cinta buta yang bergelora dalam jiwa yang kosong. Aristoteles
juga berujar: “Cinta buta adalah cinta yang buta untuk melihat kesalahan
orang yang dicintai. Cinta buta adalah kebodohan yang membalikkan hati
yang hampa, sehingga ia tidak lagi mau memikirkan yang lain.” Oleh
karena itu perlu manajemen cinta untuk menghindarkan ekses negatif dan
efek kegilaan cinta yang menjurus kepada cinta buta yang sangat
berbahaya sebagaimana dilukiskan penyair Qais: “Kau gila karena orang
yang kau cinta. Memang cinta buta itu lebih parah dari gila. Orang tidak
bisa sadar karena cinta buta, sedang orang gila bisa terkapar tak
berdaya”. Bahkan yang lebih parah lagi bila cinta menghanyutkan
seseorang sehingga melupakannya dari prioritas cinta lainnya seperti
melupakan ataupun menduakan cinta kepada Allah yang dapat berakibat
syirik.
Cinta memang persoalan hati (qalbu) dan hati seperti
namanya adalah bersifat labil (yataqallabu) sehingga yang diperlukan
adalah upaya maksimal lahir batin dalam pengendaliannya secara adil
untuk setiap yang berhak atasnya. Nabi saw memaklumi fenomena batin ini
dalam pengakuannya:
“Ya Allah, inilah usahaku sebatas kuasaku,
maka janganlah Engkau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku
tidak kuasai (hati).” (HR. Abu Dawud).
Melalui proses manajemen
dan pengendalian cinta, seseorang dapat menjadikan perasaan cinta
sebagai motivasi kontrol dalam kerangka kebajikan dan kemuliaan. Inilah
esensi pesan Risalah Islam mengenai Alhubb wal Bughdhu fillah (Cinta dan
benci karena Allah) sehingga kita tidak akan termakan oleh doktrin
sinetron yang menyesatkan seperti sinetron “Kalau cinta jangan marah”.
Hal itu karena kemarahan dalam perspektif manajemen cinta merupakan
kelaziman cinta sejati yang diekspresikan dalam bentuk yang arif
bijaksana tanpa keluar jalur syariat sebagaimana kemarahan Nabi saw
diungkapkan dalam bentuk ekspresi perubahan mimik muka, diam, atau
isyarat lainnya sebagai peringatan yang selanjutnya diberikan penjelasan
dan dialog dari hati ke hati. Karenanya, beliau tidak menyukai lelaki
yang suka memukul wanita bila marah apalagi sampai menampar wajah.
Sebaliknya beliau juga tidak menyukai wanita yang meninggalkan atau
mengkhianati suaminya bila sedang marah.
Manajemen cinta akan
menumbuhkan sikap adil dalam cinta yang membawa hidup sehat dan seimbang
(tawazun) dan bukan menjadi sumber penyakit sebagaimana Ibnul Qayyim
sampaikan bahwa cinta bagi ruh sama dengan fungsi makanan bagi tubuh.
Jika engkau meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu dan jika
engkau terlalu banyak menyantapnya serta tidak seimbang tentu akan
membinasakanmu. Kelezatan hidup inilah yang dilukiskan dalam hadits
tentang kelezatan iman:
“Ada tiga perkara yang siapa pun
memilikinya niscaya akan merasakan kelezatan iman; barang siapa yang
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang
mencintai seseorang hanya karena Allah, dan siapa yang benci kembali
kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Proses menuju cinta suci yang diberkati Allah
tidaklah mudah sehingga memerlukan upaya manajemen diri termasuk
pengendalian ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai
persyaratan iman. Sabda Nabi saw:
“Tidaklah beriman seseorang di
antara kalian sampai ia mencintai saudaranya (seiman) sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta sesama mukmin merupakan syarat
masuk surga “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan
kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR.
Muslim)
Cinta yang dikehendaki Islam adalah cinta sejati dan arif
bukan cinta buta yang bodoh. Manajemen cinta mengajarkan agar perasaan
cinta kepada seseorang tidak menghalangi kita untuk tetap melakukan
segala hal yang semestinya kita kerjakan. Sehingga kita tidak akan
melakukan ataupun meninggalkan segala hal demi rasa cinta ataupun
mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai meskipun hal itu
bertentangan dengan kemaslahatan (kebaikan) dirinya, membahayakan orang
lain dan menimbulkan kerusakan di muka bumi atau memancing kemarahan
Allah. Karena sikap demikian merupakan cinta buta yang bodoh. Sebagai
contoh seorang ibu yang begitu memanjakan anaknya karena cintanya yang
mendalam sampai melupakan pendidikan dan pengajarannya yang pada
gilirannya justru akan menjadi bumerang bagi orang tuanya karena menjadi
anak durhaka.
Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana
cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rasulullah kepada umatnya
sehingga yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah kebaikan,
kesempurnaan dan kemuliaan dengan membenci segala kemungkaran dan
kejahatan. (QS. Fathir: 35, Al-Kahfi: 18).
Seorang muslim tidak
mengenal cinta monyet, cinta buta, cinta dusta, cinta palsu dan cinta
bodoh. Ia hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh kearifan dan
kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan
meletakkan cinta tersebut di atas segala-galanya sebagai tolok ukur
cinta lainnya. Suatu ketika seorang Arab badui menghadap Nabi saw dan
menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu beliau balik bertanya: “Apa
yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau cintai” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan
menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala
hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi
inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif
lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan
membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)
– Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar