“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’aam: 162-163).
Seorang
kader dakwah sesungguhnya adalah ketika dirinya sudah selesai dengan
urusan dirinya sendiri. Di mana waktu-waktunya adalah hanya untuk
kepentingan manusia lainnya. Sedangkan sisa waktu yang lain adalah
bagaimana untuk terus meningkatkan ketaatan kepada Allah. Akan tetapi,
seringkali seorang kader dakwah lalai akan satu hal, yakni Ikhlas.
Ikhlas adalah membersihkan segala amal perbuatan dari segala campuran.
Di antara buah hasil keikhlasan adalah hati yang selamat dari penipuan
dan kesesatan, dan dijauhkan dari perasaan ragu-ragu. Ciri ikhlas tahap
selanjutnya adalah bersikap biasa atau tidak ada perasaan yang berbeda
ketika sesudah melakukan sebuah amalan, baik pujian maupun celaan. Tidak
ada rasa kecewa karena tidak mendapat pujian dan tidak pula merasa
menyesal karena telah melakukan amal shalih. Puncak dari ikhlas itu
sendiri adalah ia lebih menyukai amal baiknya tidak diketahui orang lain
sebagaimana ia menyembunyikan amal keburukannya.
Satu kunci
penting dalam manajemen ikhlas adalah meluruskan niat. Karena semua amal
itu pasti diawali dari niat. Niat yang bersih, tanpa ada kotoran di
dalamnya maka akan mengantarkan seorang hamba jauh dari rasa bangga akan
pujian dan jauh dari rasa marah karena cacian.
Seringkali ikhlas
hanya dikaitkan dengan bagaimana melakukan suatu amalan, tapi bagaimana
dengan meninggalkannya? Imam Fudhail bin ‘Iyadh memberikan nasihat
tentang ini “Beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkan amal
karena manusia adalah ria”. Maksud meninggalkan amal karena manusia,
selain karena ingin mendapat pujian atau posisi aman di hadapan manusia
juga dikarenakan rasa takut akan dianggap ‘aneh’ dan ditinggalkan oleh
manusia lainnya karena amalan itu. Seringkali seorang hamba
mengkerdilkan dirinya sendiri dari kebiasaan beramal shalih karena takut
dijauhi oleh komunitas sekitarnya. Jika ini menjadi kebiasaan, maka
imbasnya adalah ia akan terbiasa meninggalkan amal hingga akhirnya dia
tidak melakukannya sama sekali.
Kesungguhan
Setelah
fase ikhlas dilalui oleh seorang kader dakwah, maka kesungguhan adalah
fase berikutnya. Jika ikhlas itu membenarkan arah tujuan, maka
kesungguhan adalah berusaha sebaik-baiknya dalam menggapai tujuan.
Artinya ketika seseorang hamba sedang melakukan shalat yang hanya
ditujukan kepada Allah yang Maha Agung bahwa sesungguhnya ia sudah
mencapai ikhlas, namun berusaha shalat berjamaah, memperbaiki bacaan dan
shalat dengan khusyuk itulah kesungguhan.
Menurut Syaikh Mu’min
Fathi al-Haddad, dalam Kaifa Takhsya’u fi Shalatika wa tadfa’u min
Wasawisika, menyatakan bahwa, keikhlasan tidak akan sempurna tanpa
adanya kesungguhan, dan tiada kesungguhan tanpa adanya keikhlasan.
Sedangkan kesungguhan dan keikhlasan tidak akan dapat sempurna kecuali
dengan kesabaran.
Jika seorang kader dakwah menginginkan kemuliaan
dalam hidupnya, maka berusaha semaksimal mungkin dan sungguh-sungguh
adalah pilihan yang tidak bisa ditolak.
Laa izzata illa bil jihad, Tiada Kemuliaan Tanpa Kesungguhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar